Sejarah Kotagede dapat dipanÂdang menurut periodisasi umum yang berlaku nasional, maupun khusus yang berlaku setempat. Secara umum sejarah setempat dapat dipilah atas beberapa peÂriode, yakni periode keraton MaÂtaram, periode Surakarta-YogyaÂkarta yang berbarengan dengan masa kolonialisme Belanda hingga zaman Jepang, dan periode keÂmerdekaan (republik).
Pada awalnya, menurut Babad TaÂnah Jawi, Kotagede didirikan oleh Ki Ageng Pemanahan di daerah hutan Menthaok, sebagai hadiah dari Sultan Hadiwijaya (raja PaÂjang), karena keberhasilannya berÂsama Ki Penjawi dan dibantu oleh Sutawijaya (anak Ki Ageng PemaÂnahan) mengalahkan musuh PaÂjang yaitu Arya Penangsang sebaÂgai Adipati Jipang. Daerah ini keÂmudian tumbuh menjadi pusat keÂkuasaan Keraton Mataram.
Pada waktu pemerintahan PanemÂbahan Senapati (gelar Sutawijaya setelah menjadi raja Mataram), Kotagede dijadikan ibukota kerajaÂan, namun pada masa Sultan Agung ibukota kerajaan dipindahÂkan ke Kerta. Sebagai bekas ibuÂkota kerajaan, Kotagede mempuÂnyai ciri-ciri khusus, antara lain masih adanya status abdi dalem, peninggalan-peninggalan yang keÂramat dan bersejarah.
Pada periode kerajaan Surakarta-Yogyakarta, Kotagede menjadi wiÂlayah bersama. Kehidupan KotaÂgede kurang berkembang hingga hadirnya para pengusaha dan peÂrajin. Industri kerajinan dan niaga mencapai keemasannya sejak seÂkitar 1900an. Pada saat itu tumbuh perhatian khusus dari kedua keraÂjaan tersebut terhadap karya keseÂnian dan kerajinan Kotagede yang didukung oleh kemampuan niaga para juragan kerajinan dan pedaÂgang. Produk periode ini adalah munculnya predikat “kota perak†bagi Kotagede. Pada saat itu juga muncul gerakan keagamaan Islam di Kotagede.
Pada masa kemerdekaan, KotageÂde menjadi bagian dari wilayah koÂta Yogyakarta dan Kabupaten Bantul. Sementara itu kejayaan Kotagede sebagai pusat kerajinan perak dan perniagaan cenderung surut. Pada dekade belakangan perhatian masyarakat setempat beralih dari mengandalkan ketramÂpilan dalam industri kerajinan menÂjadi mengejar ilmu (pendidikan).
Situs Kotagede,Â
Merupakan kawasan cagar budaya yang didasarkan pada keberadaan data arkeologi sebagai bekas ibuÂkota Mataram yang pertama, dan berkronologi tahun 1582 – 1640 M. Batasan fisik kawasan situs mengÂacu kepada batasan fisik kota laÂma, yaitu sebuah kawasan yang dibatasi oleh baluwarti atau temÂbok kota beserta jagang yang berÂada di luarnya (lihat: Baluwarti). Lokasi situs sekarang kurang lebih 6 Km arah tenggara dari pusat koÂta Yogyakarta.
Kotagede menjadi pusat pemerinÂtahan pada masa Panembahan Senapati hingga sebagian masa Sultan Agung, sehingga pada saÂatnya dahulu banyak terdapat faÂsilitas yang berhubungan dengan peran tempat ini sebagai sebuah ibukota kerajaan. Di dalam situs terdapat banyak peninggalan arkeÂologis seperti: reruntuhan tembok beteng, reruntuhan cepuri, singgaÂsana raja, Mesjid Gede, makam raja dan kerabat, kampung adat.
Kotagede menjadi pusat pemerinÂtahan Keraton Mataram tidak lama yaitu sekitar 58 tahun, dimulai seÂjak jatuhnya Pajang pada tahun 1582 M sampai dengan tahun 1640 M.
Pada awalnya, wilayah Mataram merupakan perdikan di bawah keÂkuasaan Kerajaan Pajang. Dalam perkembangannya, Ki Ageng PeÂmanahan menyerahkan wilayah Mataram kepada puteranya yang bernama Sutawijaya yang kemudiÂan bergelar Raden Ngabehi Loring Pasar. Sutawijaya setelah mengÂgantikan ayahnya kemudian memÂbangun tembok keliling untuk memperkuat wilayah Mataram. SeÂtelah tembok keliling dibangun, SuÂtawijaya kemudian menyerang PaÂjang dan berhasil mengalahkanÂnya. Selanjutnya Sutawijaya menÂjadi raja Mataram yang pertama dan bergelar Senapati Ing Ngalaga Sayidin Panatagama. Oleh PaÂnembahan Senapati, Kotagede diÂtetapkan sebagai pusat pemerinÂtahannya. Dalam masa pemerinÂtahan Sutawijaya, kerajaan ini meÂuaskan kekuasaannya di berbagai wilayah di Jawa.
Dalam masa pemerintahan selama kurang lebih setengah abad, KotaÂgede telah menempatkan diri tamÂpil dalam panggung sejarah dan kebudayaan di Jawa. Berdasarkan data sejarah, dalam masa yang pendek tersebut Keraton Kotagede telah memiliki tata ruang dan komÂponen-komponen kota seperti laÂzimnya kota-kota pusat pemerinÂtahan kerajaan Islam. Kotagede sebagai kota pusat pemerintahan dibuktikan dengan adanya tinggalÂan arkeologis, yaitu: keraton atau kedhaton, benteng, tembok keliÂling, jagang, cepuri, Mesjid, pasar, permukiman, dan makam.
Komponen-komponen tersebut merupakan data yang dapat menÂcerminkan kondisi sosial, ekonomi, budaya masyarakat pendukungÂnya, tentunya termasuk kondisi poÂlitik yang ikut bermain di dalamnya.
Sebagai sebuah kawasan peningÂgalan purbakala, Kotagede pernah mengalami berada di bawah dua pemerintahan tradisional yang seÂcara tradisi memiliki sistem pemeÂrintahan sendiri, yaitu: 1) KotageÂde Yogyakarta dan 2) Kotagede Surakarta. Oleh karena itu, kawasÂan ini sempat disebut sebagai taÂnah mencil atau enclave yaitu suÂatau kawasan atau wilayah yang terletak di wilayah pemerintahan lain atau berbeda.
Hal ini dapat dipahami mengingat Kotagede merupakan pusaka bagi Kasultanan Yogyakarta maupun Kasunanan Surakarta. Status ini merupakan kesepakatan yang diÂambil oleh kedua belah pihak deÂngan berlandaskan kepada pemiÂkiran bahwa Kotagede merupakan pusaka leluhur bag keduanya, dan di sana terdapat makam pendiri Mataram yang nantinya menurunÂkan kedua belah pihak, yaitu Ki Gede Mataram dan Panembahan Senapati.
Adanya dua makam leluhur dari kedua kerajaan baik di Kotagede (Ki Gede Mataram dan PanembahÂan Senapati) maupun di Imogiri (Sultan Agung) maka pengelolaan dan pemeliharaan diurus oleh keÂdua belah pihak.
KotaGede Heritage