Bencana kekeringan yang terjadi di Gunungkidul tidak lepas dari minimnya sumber air yang ada di permukaan. Sebagian besar aliran air yang ada merupakan sungai bawah tanah yang belum bisa dipetakan jumlah dan titik-titiknya.
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah(Bappeda) Gunungkidul, Syarif Armunanto mengatakan, pihaknya sebenarnya sudah berusaha untuk melakukan pemetaan sungai bawah tanah. Namun selama ini masih terkendala belum tersedianya peralatan dan ahli yang memliki kemampuan untuk membuat pemetaan. “Kita belum punya gambaran siapa yang akan mengerjakan,” katanya, Minggu (28/9).
Syarif menjelaskan, pihaknya sudah berkomunikai dengan beberapa pihak untuk merealisasikan pembuatan peta sungai bawah tanah. Beberapa waktu yang lalu Bappeda mendapatkan informasi kalau Badan Tenaga Nuklir Nasional(BATAN) bisa melakukannya.
Namun setelah dikonfirmasi, teknologi yang digunakan untuk pemetaan sungai bawah tanah menggunakan tehnik geolistrik yang bisa menyebabkan pencemaran lingkungan. “Katanya mencemari, makanya saya tidak mau,” jelasnya.
Pemetaan sungai bawah tanah ini menurut Syarif cukup penting bagi pemerintah Kabupaten Gunungkidul. Selama ini bencana kekeringan yang ada disebabkan karena sumber air yang ada di permukaan sangat minim.
Padahal, sebenarnya, dengan kondisi alam yang sebagian besar berupa batuan karst, sumber air di Gunungkidul cukup banyak. Namun lokasinya berada di bawah tanah sehingga tidak diketahui letak dan jumlahnya. Jika sudah memiliki peta sungai bawah tanah, nantinya pemerintah bisa membuat kebijakan untuk pemanfaatannya terutama dalam penanggulanan bencana kekeringan. “Sangat diperlukan, sangat butuh sekali seperti itu(peta sungai bawah tanah),” ucapnya.
Dihubungi terpisah, Direktur PDAM Gunungkidul, Isnawan Febriyanto mengakui potensi sungai bawah tanah cukup besar. Hanya saja, sampai saat ini pemerintah belum memiliki peta persebaran sungai bawah tanah sehingga baru ada beberapa titik saja yang bisa diekploitasi. “Kita baru bisa eksploitasi sungai bawah tanah yang ada di Baron, Bribin, Seropan. Sebenarnya potensinya banyak,” katanya.
Tidak adanya peta persebaran sungai bawah tanah ini menurut Isnawan menyebabkan selama ini pelayanan air bersih PDAM belum bisa menjangkau seluruh warga. Sebab, untuk menarik air dari sungai bawah tanah membutuhkan biaya operasional yang sangat tinggi. Dalam sebulan, PDAM harus mengeluarkan biaya hingga Rp 1, 3 miliar hanya untuk operasional listrik.
Sumber : JogjaTribunnews.com  / Rep : Hari Susmayanti